URGENSI MENTAL HEALTH GENERASI MILENIAL
Berbicara tenyang kesehatan
tentunya perbincangan yang sangat mendalam baik secara jasmani ataupun rohani,
pepatah arab mengataka “al-aqlussalim fii jismissalim” jiwa yang sehat terdapat
di dalam tubuh yang sehat namun disini kita akan membahas lebih dalam tentang
pentingnya kesehatan mental bagi generasi Z. Seiring dengan kemajuan zaman
semakin banyak teknologi yang dapat mempermudah kehidupan manusia akan tetapi
seiring dengan bertambahnya kemudahan tersebut tetap menimbulkan sisi negatif
tidak mutlak ke sisi positif. Dengan perkembangan zaman ini tentunya tekanan
hidup juga berubah bagi seorang kepala keluarga yang menanggung beban hidup
keluarganya, ibu rumah tangga yang mendidik anaknya, dan anak yang merupakan
seorang pelajar. Mereka memiliki tekanan hidup masing masing yang berbeda dan
kita akan fokus kepada anak sebagai seorang pelajar generasi Z saat ini.
Berdasarkan survei World
Health Organization (WHO), sebanyak
10-20% anak dan remaja di seluruh dunia mengalami gangguan secara psikis.
Separuh penyakit kejiwaan ditemukan sejak usia semuda 14 tahun. 5-15% remaja
berusia 12-18 tahun memiliki kecenderungan untuk melakukan percobaan bunuh
diri, tersebar di negara-negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Di
negara kita sendiri, sangat sedikit penelitian yang fokus melakukan riset
tentang jumlah remaja yang memiliki gangguan mental. Hal ini menunjukkan bahwa
gangguan mental masih merupakan sesuatu yang tabu dan tersembunyi di masyarakat
kita. Padahal, hal tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dikesampingkan begitu
saja.
Gangguan
mental (mental disorder) adalah suatu
kelainan yang berdampak pada perubahan cara berpikir, emosi, dan perilaku (American
Psychiatric Association). Spektrum gangguan mental sangatlah luas.
Ketidakseimbangan hormon, faktor genetik, serta lingkungan semuanya berpengaruh
dalam membentuk kondisi psikis seseorang. Bahkan seringkali diagnosis psikolog
dan pakar kesehatan mental pun menemui perselisihan. Gejala paling umum yang
ditemukan adalah merasa sedih, cemas, dan gelisah dalam kurun waktu yang lama,
mengisolasi diri, acuh terhadap orang lain, karir, hobi, dan pendidikan, dan
besarnya penghakiman terhadap diri sendiri. Dalam kasus ekstrem, seorang remaja
dapat dengan mudah terserang panik, melukai diri sendiri baik dengan benda
tumpul maupun tajam, serta menunjukkan tendensi bunuh diri. Tidak hanya sampai
situ saja. Diagnosis lain seperti PTSD (Post-traumatic Stress
Disorder), autisme, bipolar, BPD (Borderline Personality
Disorder), dan lainnya juga memiliki gejala yang berbeda pula.
Tingginya
stigma meremehkan, menyepelekan, dan mengabaikan gangguan mental ini
mengakibatkan para penderita memilih untuk menyimpan rasa sakitnya sendiri
ketimbang menceritakannya kepada orang terdekat. Kemudian banyak juga yang
beranggapan bahwa gangguan mental hanya disebabkan oleh kurang iman layaknya orang
kerasukan, tentunya hal ini dipandang dari perspektif religi semata. Gangguan mental selalu diasosiasikan dengan orang
gila yang berteriak seenaknya di jalan, atau perempuan paruh baya yang berduka
selama berbulan-bulan karena kepergian mendiang suaminya. Padahal, gangguan
mental bisa menjadi lebih dekat daripada yang kita kira, seperti berpikir untuk
mati saja daripada dihina secara fisik oleh teman-teman sebaya.
Salah satu cara mengurangi angka penderita ataupun kematian yang disebabkan ilness mental dapat dilakukan dengan hal yang mendasar menghapus stigma yang ada terhaap ilness mental tadi, dengan mengedukasikannya kepada banyak lapisan masyarakat seperti orangtua anak yang tentunya memiliki peran penting dalam menangani hal ini ataupun kepada para pelajar baik SD, SMP, SMA, ataupun mahasiswa sebagai sesama teman diantara mereka. Bagaimana mengajarkannya kepada anak SD ? hal ini dapat dilakukan dengan hal yang sederhana seperti tidak boleh mengejek dan menindas temannya. Untuk membangun support system ini dibutuhkan banyak orang yang peduli dan paham akan mental ilness bukan hanya satu atau dua orang, sistem ini tidak akan terbentukapabila hanya sedikit orang yang mengerti hal ini, solusinya adalah dengan membuat sebuah gerakan atau program edukasi massal tentang mental lness, bisa juga dengan membuat sebuah organisasi penyeru gerakan peduli kesehatan mental. Tujuan dari menghapus stigma ini adalah untuk membangun support system diantara para penderita mental ilness tadi, sehingga mereka merasa terdorong untuk bangkit, melangkah kedepan untuk sembuh akan hal itu, seperti itulah pentingnya peran support system bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar