Jumat, 09 Oktober 2020

faiq al-mubarok_204140214111046_C57

URGENSI MENTAL HEALTH GENERASI MILENIAL

 

Berbicara tenyang kesehatan tentunya perbincangan yang sangat mendalam baik secara jasmani ataupun rohani, pepatah arab mengataka “al-aqlussalim fii jismissalim” jiwa yang sehat terdapat di dalam tubuh yang sehat namun disini kita akan membahas lebih dalam tentang pentingnya kesehatan mental bagi generasi Z. Seiring dengan kemajuan zaman semakin banyak teknologi yang dapat mempermudah kehidupan manusia akan tetapi seiring dengan bertambahnya kemudahan tersebut tetap menimbulkan sisi negatif tidak mutlak ke sisi positif. Dengan perkembangan zaman ini tentunya tekanan hidup juga berubah bagi seorang kepala keluarga yang menanggung beban hidup keluarganya, ibu rumah tangga yang mendidik anaknya, dan anak yang merupakan seorang pelajar. Mereka memiliki tekanan hidup masing masing yang berbeda dan kita akan fokus kepada anak sebagai seorang pelajar generasi Z saat ini.

Berdasarkan survei World Health Organization (WHO), sebanyak 10-20% anak dan remaja di seluruh dunia mengalami gangguan secara psikis. Separuh penyakit kejiwaan ditemukan sejak usia semuda 14 tahun. 5-15% remaja berusia 12-18 tahun memiliki kecenderungan untuk melakukan percobaan bunuh diri, tersebar di negara-negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Di negara kita sendiri, sangat sedikit penelitian yang fokus melakukan riset tentang jumlah remaja yang memiliki gangguan mental. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan mental masih merupakan sesuatu yang tabu dan tersembunyi di masyarakat kita. Padahal, hal tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dikesampingkan begitu saja.

Gangguan mental (mental disorder) adalah suatu kelainan yang berdampak pada perubahan cara berpikir, emosi, dan perilaku (American Psychiatric Association). Spektrum gangguan mental sangatlah luas. Ketidakseimbangan hormon, faktor genetik, serta lingkungan semuanya berpengaruh dalam membentuk kondisi psikis seseorang. Bahkan seringkali diagnosis psikolog dan pakar kesehatan mental pun menemui perselisihan. Gejala paling umum yang ditemukan adalah merasa sedih, cemas, dan gelisah dalam kurun waktu yang lama, mengisolasi diri, acuh terhadap orang lain, karir, hobi, dan pendidikan, dan besarnya penghakiman terhadap diri sendiri. Dalam kasus ekstrem, seorang remaja dapat dengan mudah terserang panik, melukai diri sendiri baik dengan benda tumpul maupun tajam, serta menunjukkan tendensi bunuh diri. Tidak hanya sampai situ saja. Diagnosis lain seperti PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), autisme, bipolar, BPD (Borderline Personality Disorder), dan lainnya juga memiliki gejala yang berbeda pula.

 

Tingginya stigma meremehkan, menyepelekan, dan mengabaikan gangguan mental ini mengakibatkan para penderita memilih untuk menyimpan rasa sakitnya sendiri ketimbang menceritakannya kepada orang terdekat. Kemudian banyak juga yang beranggapan bahwa gangguan mental hanya disebabkan oleh kurang iman layaknya orang kerasukan, tentunya hal ini dipandang dari perspektif religi semata. Gangguan mental selalu diasosiasikan dengan orang gila yang berteriak seenaknya di jalan, atau perempuan paruh baya yang berduka selama berbulan-bulan karena kepergian mendiang suaminya. Padahal, gangguan mental bisa menjadi lebih dekat daripada yang kita kira, seperti berpikir untuk mati saja daripada dihina secara fisik oleh teman-teman sebaya.

 

Salah satu cara mengurangi angka penderita ataupun kematian yang disebabkan ilness mental dapat dilakukan dengan hal yang mendasar menghapus stigma yang ada terhaap ilness mental tadi, dengan mengedukasikannya kepada banyak lapisan masyarakat seperti orangtua anak yang tentunya memiliki peran penting dalam menangani hal ini ataupun kepada para pelajar baik SD, SMP, SMA, ataupun mahasiswa sebagai sesama teman diantara mereka. Bagaimana mengajarkannya kepada anak SD ? hal ini dapat dilakukan dengan hal yang sederhana seperti tidak boleh mengejek dan menindas temannya. Untuk membangun support system ini dibutuhkan banyak orang yang peduli dan paham akan  mental ilness  bukan hanya satu atau dua orang, sistem ini tidak akan terbentukapabila hanya sedikit orang yang mengerti hal ini, solusinya adalah dengan membuat sebuah gerakan atau program edukasi massal tentang mental lness, bisa juga dengan membuat sebuah organisasi penyeru gerakan peduli kesehatan mental. Tujuan dari menghapus stigma ini adalah untuk membangun support system diantara para penderita mental ilness tadi, sehingga mereka merasa terdorong untuk bangkit, melangkah kedepan untuk sembuh akan hal itu, seperti itulah pentingnya peran support system bagi mereka.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

faiq al-mubarok_204140214111046_C57

 ACCEPT YOURSELF     Pikiran yang seringkali melayang – layang di otak, bagi beberapa manusia yang terlalu berpatokan kepada kehidupan o...